Skripsi PPKN-HUBUNGAN ANTARA IMPLEMENTASI PENDIDIKAN KARAKTER DI SEKOLAH DENGAN PERILAKU SOSIAL SISWA KELAS XI IPS SMA

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat. Pendidikan meliputi pengajaran keahlian khusus, dan juga sesuatu yang tidak dapat dilihat tetapi lebih mendalam yaitu pemberian pengetahuan, pertimbangan dan kebijaksanaan. Pendidikan adalah suatu proses pembaharuan makna pengalaman, hal ini mungkin akan terjadi di dalam pergaulan biasa atau pergaulan orang dewasa dengan orang muda, mungkin pula terjadi secara sengaja dan dilembagakan untuk menghasilkan kesinambungan sosial.

Pendidikan mengacu pada berbagai macam aktivitas, mulai dari yang sifatnya produktif-material sampai kreatif-spiritual, mulai dari proses peningkatan kemampuan teknis (skill) sampai pada pembentukan kepribadian yang kokoh dan integral. Sebuah kegiatan yang mampu mengembangkan karakter anggotanya. Pendidikan mengembangkan karakter melalui berbagai macam kegiatan, seperti penanaman nilai, pengembangan budi pekerti, nilai agama,

pembelajaran dan pelatihan nilai-nilai modal dan lain-lain. Sebagaimana digariskan dalam Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU RI No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas : 62) :Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.

Salah satu alternatif untuk mewujudkan tujuan tersebut adalah melalui pendidikan karakter terpadu, yaitu memadukan dan mengoptimalkan kegiatan pendidikan informal lingkungan keluarga dengan pendidikan formal di sekolah.

Saat ini pendidikan karakter merupakan target yang dicanangkan oleh Menteri Pendidikan Nasional untuk membentuk insan Indonesia yang cerdas. Menurut ngajum (2010:1) Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil. Pendidikan karakter yang akan diterapkan di sekolah-sekolah tidak diajarkan dalam mata pelajaran khusus. Namun, pendidikan karakter

yang akan digencarkan dan diberi perhatian khusus dalam praksis pendidikan nasional ini dilaksanakan melalui keseharian pembelajaran yang sudah berjalan di sekolah.
Pendidikan Karakter di sekolah dapat diintegrasikan dalam pembelajaran pada setiap mata pelajaran. Materi pembelajaran yang berkaitan dengan norma atau nilai-nilai pada setiap mata pelajaran perlu dikembangkan, dieksplisitkan, dikaitkan dengan konteks kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, pembelajaran nilai-nilai karakter tidak hanya pada tataran kognitif, tetapi menyentuh pada internalisasi, dan pengamalan nyata dalam kehidupan peserta didik sehari-hari di masyarakat.
Pendidikan karakter berkaitan dengan perilaku sosial siswa di dalam lingkungan sekolah. Setiap siswa akan berinteraksi dengan para guru, sesama siswa, dan semua warga sekolah. Adanya ikatan saling ketergantungan di antara satu orang dengan yang lainnya. Seperti halnya interaksi yang terjadi di dalam kelas selama proses pembelajaran berlangsung. Di mana siswa bertanya kepada teman tentang materi pelajaran yang dipelajari di kelas jika ada yang tidak dimengerti, dan siswapun dapat bertanya secara langsung kepada guru disaat guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya. Selain itu interaksi juga terjadi ketika para siswa melaksanakan tugas piket, terjadi kerjasama antar siswa di dalam membersihkan kelas sebelum pembelajaran dimulai. Interaksi tidak hanya terjadi di dalam kelas, di luar kelaspun demikian. Seperti dalam pelaksanaan upacara sekolah setiap hari senin, di mana diperlukannya kerjasama atau pembagian tugas antara para siswa dan para guru di dalam pelaksanaan upacara tersebut agar semuanya dapat berjalan dengan tertib dan lancar.

Perilaku sosial adalah suasana saling ketergantungan yang merupakan keharusan untuk menjamin keberadaan manusia. Sebagai bukti bahwa manusia dalam memenuhi kebutuhan hidup sebagai diri pribadi tidak dapat melakukannya sendiri melainkan memerlukan bantuan dari orang lain. Ada ikatan saling ketergantungan di antara satu orang dengan yang lainnya. Artinya bahwa kelangsungan hidup manusia berlangsung dalam suasana saling mendukung dalam kebersamaan. Contohnya yaitu saling ketergantungan antara siswa dan guru. Di mana siswa membutuhkan guru untuk dapat mengerti tentang materi yang ada pada mata pelajaran, hal ini terjadi pada saat tatap muka di kelas, fungsi guru itu sendiri sebagai fasilitator dan motivator bagi siswa untuk dapat memahami mata pelajaran dan mencapai Ketuntasan Belajar Minimal. Begitu pula sebaliknya, proses pembelajaran akan berhasil apabila adanya kerjasama antara guru dan siswa sehingga skenario pembelajaran yang telah dibuat oleh guru dapat berjalan dengan baik.

Pada perkembangan menuju kedewasaan, interaksi sosial di antara manusia dapat merealisasikan kehidupannya secara individual. Hal ini dikarenakan jika tidak ada timbal balik dari interaksi sosial maka manusia tidak dapat merealisasikan potensi-potensinya sebagai sosok individu yang utuh sebagai hasil interaksi sosial. Potensi-potensi itu pada awalnya dapat diketahui dari perilaku kesehariannya. Pada saat bersosialisasi maka yang ditunjukkannya

adalah perilaku sosial. Seorang siswa dalam mengikuti kegiatan belajar di sekolah tidak akan lepas dari berbagai peraturan dan tata tertib yang diberlakukan di sekolahnya, dan setiap siswa dituntut untuk dapat berperilaku sesuai dengan aturan dan tata tertib yang berlaku di sekolahnya.
Sekolah telah lama dianggap sebagai sebuah lembaga sosial yang memiliki fokus terutama pada pengembangan intelektual dan moral bagi siswanya. Pengembangan karakter di tingkat sekolah tidak dapat melalaikan dua tugas khas ini. Menurut Doni Koesoema ( 2010:115 ) “Pendidikan karakter di dalam sekolah memiliki sifat bidireksional, yaitu pengembangan kemampuan intelektual dan kemampuan moral”. Dua arah pengembangan ini diharapkan menjadi semacam idealisme bagi para siswa agar mereka semakin mampu mengembangkan ketajaman intelektual dan integritas diri sebagai pribadi yang memiliki karakter kuat.

Pendidikan karakter menjadi semakin mendesak untuk diterapkan dalam lembaga pendidikan kita mengingat berbagai macam perilaku yang non-edukatif kini telah menyerambah dalam lembaga pendidikan kita, seperti fenomena kekerasan, pelecehan seksual, kesewenang-wenangan yang terjadi di kalangan sekolah. Pendidikan karakter bukan sekedar memiliki dimensi integratif, dalam arti mengukuhkan moral intelektual anak didik sehingga menjadi pribadi yang kokoh dan tahan uji, melainkan juga bersifat kuratif secara personal maupun sosial. Pendidikan karakter menjadi sebuah jalan keluar bagi proses perbaikan dalam masyarakat. Situasi sosial yang ada

menjadi alasan utama agar pendidikan karakter segera dilaksanakan dalam lembaga pendidikan.
Pendidikan karakter yang secara sistematis diterapkan dalam sekolah merupakan daya tawar berharga bagi seluruh komunitas. Para siswa mendapat keuntungan dengan memperoleh perilaku dan kebiasaan positif yang mampu meningkatkan rasa percaya diri mereka, membuat hidup mereka lebih bahagia dan lebih produktif. Tugas-tugas guru menjadi lebih ringan dan lebih memberikan kepuasan ketika para siswa memiliki disiplin yang lebih besar di dalam kelas. Orang tua bergembira ketika anak-anak mereka belajar untuk menjadi lebih sopan, memiliki rasa hormat dan produktif. Para pengelola sekolah akan menyaksikan berbagai macam perbaikan dalam hal disiplin, kehadiran, pengenalan nilai-nilai moral bagi siswa maupun guru.

Pada kenyataannya tidak semua peserta didik mau dan mampu memadukan antara pendidikan karakter di sekolah dengan sikap dan perilaku sosialnya dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan harus mengembangkan anak didik agar mampu menolong dirinya sendiri, untuk itu anak didik perlu mendapatkan berbagai pengalaman dalam mengembangkan konsep-konsep, prinsip, generalisasi, intelek, inisiatif, kreativitas, kehendak dan emosi.

Menurut pernyataan di atas dapat dikemukakan bahwa untuk dapat mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan mencapai tujuan berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa, tanggung jawab, kedisiplinan

dan kemandirian, kejujuran/amanah dan arif, hormat dan santun, dermawan, suka menolong dan gotong-royong/kerjasama, percaya diri, kreatif dan pekerja keras, kepemimpinan dan keadilan, baik dan rendah hati, toleransi, kedamaian dan kesatuan, perlu dikembangkan proses pendidikan yang bermutu, membelajarkan sepanjang hayat, optimalisasi pembentukan kepribadian yang bermoral, keterampilan, pengalaman, sikap, dan nilai berdasarkan standar nasional dan global, serta pemberdayaan peran serta masyarakat.

Menurut Anita Syaharudin (2010 :1) “pendidikan karakter di sekolah-sekolah di Indonesia, sudah tercakup dalam pelajaran Pendidikan Agama dan sebagian pendidikan lainnya”. Termasuk pada pelajaran kewarganegaraan yang memang memiliki tujuan untuk menciptakan warga Negara yang baik dan berkarakter. Namun mata pelajaran itu masih lebih berorientasi pada pendekatan kognitif melalui hafalan dan ditujukan untuk perburuan nilai semata. Artinya pembelajaran masih berorientasi pada aspek perolehan pengetahuan semata secara akademik. Pendidikan dan pembelajaran terhadap proses perubahan tingkah laku anak didik masih terabaikan. Jika ini dibiarkan terus-menerus maka kesenjangan antara pengetahuan dan perilaku semakin melebar.

Oleh karena itu untuk menghindari kesenjangan antara pengetahuan dan perilaku diperlukan usaha yang serius untuk meninjau kembali antara teori pendidikan moral dan karakter yang diajarkan di sekolah, dan bagaimana praktik yang terjadi dalam keseharian siswa di sekolah. Teori mencakup
dimensi dan kurikulum pendidikan karakter apa saja yang diajarkan di sekolah, bagaimana kualifikasi atau kriteria pendidik yang semestinya, bagaimana hal tersebut diajarkan, bagaimana sistem penilaian keberhasilan pendidikan karakter tersebut. Kemudian bagaimana praktik nyata dari teori-teori itu dalam bentuk perilaku guru dan siswa di sekolah.

Pendidikan karakter memiliki dua dimensi yaitu dimensi individual yang berkaitan erat dengan pendidikan nilai dan pendidikan moral seseorang, sedangkan dimensi social-structural lebih melihat bagaimana menciptakan sebuah sistem sosial yang kondusif bagi pertumbuhan individu. Peristiwa pengajaran di dalam kelas merupakan momen pendidikan karakter yang sangat strategis. Di dalam kelas, guru sebagai pengendali kelas dan mengarahkan lingkungannya. Dalam perjumpaan guru dan siswa inilah terdapat proses penanaman nilai secara lebih nyata. Seperti pada pelajaran kewarganegaraan dan agama di mana guru dan siswa berhadapan dan berdialog secara langsung dan membentuk komunitas belajar. Apabila siswa dapat mengaplikasikan pelajaran yang didapat ke dalam dunia nyata, maka siswa akan menampilkan perilaku yang baik.

Keberhasilan pendidikan karakter di sekolah dilihat dari pengaplikasian pendidikan nilai dan moral siswa di sekolah ketika berinteraksi dengan sesama siswa, guru-guru dan lingkungan sekitarnya. Pengaplikasian itu terlihat pada perilaku atau tindakan, kepatuhan siswa dalam mentaati peraturan yang berlaku di sekolah, bukan pemahaman, pengertian, atau kata-kata.

Kedisiplinan merupakan bagian penting dalam pendidikan, baik dalam konteks pendidikan formal, nonformal, maupun dalam pendidikan informal. Kedisiplinan hendaknya dipandang sebagai sebuah kekuatan positif yang memungkinkan terwujudnya kenyamanan, dan lingkungan yang benar guna pembelajaran dan pendidikan. Disiplin pada hakikatnya bukan hanya merupakan kepatuhan pada norma yang dipaksakan dari luar, melainkan merupakan kemampuan mengendalikan diri yang didasarkan pada keinginan untuk menciptakan keteraturan dan ketertiban di dalam kehidupan.
Lemahnya pengendalian diri pada individu atau siswa akan berdampak pada terbentuknya perilaku menyimpang, yang disebut sebagai masalah disiplin yang menggejala dalam bentuk pelanggaran terhadap tata tertib sekolah, seperti: perilaku membolos, terlambat masuk sekolah, ribut di kelas, berselisih dengan teman, ngobrol di kelas saat guru sedang menjelaskan mata pelajaran, tidak mengenakan atribut sekolah secara lengkap, menyontek. Hal ini dapat dilihat pada tabel 1 di bawah ini sebagai bukti adanya pelanggaran tata tertib sekolah di SMA N 10 Bandar Lampung di semester 1.

Setiap siswa memiliki sifat, karakter, kebiasaan, dan tingkat kedisiplinan yang berbeda-beda. Walaupun sekolah memiliki tata tertib yang harus dipatuhi oleh seluruh anggota sekolah tanpa terkecuali, namun masih banyak pelanggaran-pelanggaran yang terjadi. Walaupun tidak semua siswa seperti itu tetapi hal ini cukup mempengaruhi proses pembelajaran di sekolah

Berdasarkan data di atas dapat diketahui bahwa masih ada beberapa siswa yang melakukan pelanggaran tata tertib sekolah. Adanya pemikiran bahwa perkembangan zaman dan lingkungan pergaulan menuntut mereka untuk selalu berpenampilan sesuai dengan mode yang sedang marak, seperti cara berpakaian yang identik press body dengan rok mini, model rambut, aksessoris dan tata rias yang semuanya itu tidak diperbolehkan menurut tata tertib SMA N 10 Bandar Lampung.
Pendidikan karakter di SMA Negeri 10 Bandar Lampung telah di berikan seperti halnya kebiasaan guru sebelum memulai proses pembelajaran yaitu meminta siswa untuk membersihkan kelas dan menghapus papan tulis setelah

proses pembelajaran berakhir. Selain itu bentuk pendidikan karakter dapat berupa pemberian sanksi kepada siswa yang melakukan pelanggaran tata tertib sekolah. Hal ini dilakukan agar siswa terbiasa disiplin dan teratur dalam kehidupan sehari-hari. Walaupun demikian, pada kenyataannya masih banyak siswa yang belum bisa mengaplikasikan pendidikan karakter di sekolah ke dalam perilaku sosial secara maksimal.

Melihat fenomena di atas penulis tertarik untuk meneliti masalah terkait dengan Hubungan Antara Implememtasi Pendidikan Karakter di Sekolah dengan Perilaku Sosial Siswa Kelas XI IPS SMA Negeri 10 Bandar Lampung, karena kunci kemajuan sekolah dan kepercayaan masyarakat pada sekolah adalah bergantung pada pendidikan karakter di sekolah tersebut. Kunci sukses siswa adalah pengembangan diri yang baik melalui pendidikan karakter.

Berdasarkan hal tersebut, maka skripsi ini mencoba untuk mengkaji Hubungan Antara Implementasi Pendidikan Karakter di Sekolah dengan Perilaku Sosial Siswa Kelas XI IPS SMA Negeri 10 Bandar Lampung yang dirumuskan dalam beberapa masalah yaitu bagaimanakah penerapan pendidikan karakter di SMA Negeri 10 Bandar Lampung, dan apakah penerapan pendidikan karakter di SMA Negeri 10 Bandar Lampung berhubungan dengan perilaku sosial siswa di SMA Negeri 10 Bandar Lampung.