Skripsi Manajemen-PENGARUH DEVIDEN DAN PROFITABILITAS TERHADAP LEVERAGE PADA INDUSTRI OTOMOTIF YANG TERDAFTAR DI BEI

Persaingan di dunia usaha baik di sektor industri maupun jasa semakin tajam. Hal ini menyebabkan setiap perusahaan berupaya untuk dapat mempertahankan kelangsungan hidup perusahaan, perusahaan tersebut berusaha mendapatkan sumber perolehan dana dan memilih dana yang digunakan untuk membiayai investasi yang akan dilakukan.

Didalam perusahaan struktur pendanaan megindikasikan bagaimana perusahaan membiayai kegiatan operasionalnya atau bagaimana perusahaan membiayai aktivanya. Perusahaan memerlukan dana yang berasal dari modal sendiri dan modal asing. Struktur pendanaan ini merupakan perbandingan antara hutang (modal asing) dengan ekuitas (modal sendiri). Dalam penerapan struktur pendanaan, perusahaan perlu mempertimbangkan beberapa variabel yang mempengaruhinya. Beberapa teori mengemukakan banyak faktor-faktor yang berpengaruh dalam pengambilan struktur pendanaan. Menurut Brigham dan Houston (2001:39) ada beberapa faktor yang berpengaruh dalam pengambilan struktur pendanaan antara lain : stabilitas penjualan, struktur aktiva, leverage operasi, tingkat pertumbuhan, profitabilitas, pajak, pengendalian, sikap manajemen, sikap pemberi pinjaman dan lembaga penilai peringkat, kondisi pasar, kondisi internal perusahaan, fleksibilitas keuangan.

Salah satu faktor dari dalam perusahaan adalah menyangkut pada bagaimana perusahaan tersebut memperoleh dana dan memilih dana yang digunakan untuk membiayai investasi yang akan dilakukan.

Sumber-sumber dana yang dapat digunakan perusahaan dalam membiayai investasinya dapat dikategorikan menjadi dua sumber, yaitu sumber dana intern dan ekstern. Sumber dana intern adalah sumber dana yang berasal dari dalam perusahaan. Sedangkan sumber dana yang berasal dari luar perusahaan disebut sumber dana ekstern. Sumber dana dari dalam perusahaan, dapat berupa laba ditahan, sedangkan sumber dana dari luar perusahaan dapat berupa hutang.

Perusahaan yang memilih sumber dana ekstern berupa hutang menyebabkan perusahaan mempunyai tingkat hutang yang tinggi.

Kenyataan ini menunjukkan bahwa kebijakan hutang yang dikenal dengan leverage cukup penting bagi kelangsungan hidup perusahaan. Selain itu, kondisi pasar modal di Indonesia yang kurang stabil menyebabkan hutang menjadi sumber dana yang cukup penting bagi perusahaan.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Agustavianto (1995) menunjukkan bahwa karakteristik perusahaan atau industri akan menentukan rasio leverage perusahaan. Karakteristik-karakteristik perusahaan atau industri tersebut adalah : ketidakstabilan, kemungkinan kebangkrutan, aktiva tetap, non-debt tax shield, periklanan, biaya penelitian dan pengembangan, profitabilitas, pertumbuhan perusahaan (growth), ukuran perusahaan (size), free cash flow, dan keunikan perusahaan (Agustavianto, 1995:3-4).

Struktur modal perusahaan menawarkan 2 teori keuangan yaitu teori pecking order dan trade off, tetapi dalam penelitian ini hanya membahas teori pecking order. Hipotesis pecking order didasarkan pada pendapat bahwa informasi yang tidak berimbang membentuk sebuah tingkatan biaya dalam penggunaan biaya eksternal yang secara umum untuk seluruh perusahaan. Pertama investasi baru diuangkan oleh simpanan kemudian dengan resiko yang rendah hutang diizinkan, kemudian ekuitas hanya sebagai pilihan akhir.

Penelitian paling empiris pada struktur modal perusahaan berpusat pada Negara-negara industri yang pertama dan hanya sedikit yang ada dinegara berkembang atau yang mengalami transisi ekonomi. Ada beberapa alasan mengapa seseorang mengharapkan perusahaan dengan transisi ekonomi DTE (Negara yang ekonominya sedang berkembang) untuk mendapatkan perbedaan keuangan yang nyata dari bagian-bagian dinegara industri.

Penelitian sebelumnya yang dilakukan pada perusahaan di China, selama penelitian ini mereka mendapatkan bagian penting dari kepemilikan pemerintah dan perannya dalam sebuah peran utama untuk mengontrol keputusan mereka, oleh karena itu banyak yang tertarik untuk mengetahui seberapa jauh kepemimpinan ini untuk keputusan keuangan yang berbeda dibandingkan dengan  Negara-negara lain. Huang dan Song (2002) mempelajari keputusan leverage dari 799 perusahaan di China selama tahun 2000, mereka berpendapat bahwa tingkat leverage secara umum adalah rendah yang didapatkan di negara-negara berkembang. Kemudian diikuti Rajan dan Zingales (1995) dengan mengembangkan pengukuran leverage yang berbeda pada variabel yang dijelaskan mereka menemukan bahwa ada korelasi antara leverage dan kendali pemerintahan China pada perusahaan sama seperti yang ditemukan di Negara-negara lain. Huang dan Song (2002) menggambarkan penjelasan ini pada pengaruh yang penting dari kepemilikan perusahaan pada leverage, bagaimana pun juga sebuah kunci yang membedakan prediksi pecking order yang diterima oleh data sebagai berikut : sebuah pengaruh negatif yang signifikan dari profitabilitas pada leverage. Teori pecking order menggambarkan bahwa perusahaan dengan deviden tinggi yang telah ada akan mempunyai masalah keuangan yang lebih rendah dan leverage yang lebih tinggi karena mereka menggunakan biaya eksternal yang lebih banyak. Lalu penelitian dilakukan lagi di China dengan memperhatikan 50 perusahaan top di China tahun 2001-2003. Data yang diambil dari penghitungan yang dipublikasikan dari perusahaan non-keuangan didaftrakan pada stok pergantian Shanghai dan Shenzhen. Dari ke 50 perusahaan itu ada 4 perusahaan keuangan tidak diizinkan untuk penelitian tersebut, hal ini melibatkan 44 perusahaan non-keuangan untuk analisis tersebut, dimana 15 diantaranya adalah perusahaan manufaktur dan sisanya adalah non-manufaktur. Hasil penelitian yang dilakukan pada perusahan di China yaitu profitabilitas pengaruhnya signifikan negatif pada leverage. Ketika profitabilitas berkurang adalah masukan bagi kepemilikannya ini adalah negatif dan signifikan, dan hal ini menyediakan dukungan yang sangat kuat untuk teori pecking order. Sedangkan hasil penelitian antara deviden terhadap leverage yaitu adanya hubungan positif yang signifikan antara arus leverage dan deviden yang ada, meskipun pada level signifikansi yang rendah. Hal ini menghasilkan dukungan terhadap hipotesis pecking order.

Mayangsari (2001) melakukan penelitian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan pendanaan perusahaan dengan tujuan untuk menguji teori pecking order, yaitu teori keuangan yang menyatakan bahwa perusahaan lebih cenderung memilih pendanaan yang berasal dari internal dibanding eksternal. Penelitian ini dilakukan terhadap 63 perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta pada tahun 1996. Alat analisis yang digunakan adalah metode regresi dengan terlebih dahulu menguji berbagai asumsi klasik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel-variabel yang secara statistik signifikan mempengaruhi kebijakan pendanaan eksternal adalah besaran perusahaan, profitabilitas, struktur aktiva dan perubahan modal kerja.

Litner (1956, dalam Guanqu Tong dan Christopher J. Green, 2005) memperkirakan secara umum pengaruh deviden pada leverage bahwa tujuan perusahaan untuk tingkat target pengeluaran jangka panjang berhubungan dengan pendapatan. Secara perlahan, deviden mereka dari tahun ketahun menghindari perubahan yang terlalu tajam khususnya penurunan. Oleh karena itu, deviden yang tinggi yang telah ada dijaga, dan hal ini akan mengakibatkan proyek investasi keuntungan akan dialokasikan oleh proporsi yang lebih besar pada biaya  eksternal. Baskin (1989, dalam Guanqu Tong dan Christopher J. Green, 2005) menyimpulkan bahwa terdapat hubungan positif antara tingkat deviden yang telah ada dan arus leverage.

Barclay (1995) menyatakan bahwa dengan pertumbuhan perusahaan yang tinggi banyak memerlukan dana, menyebabkan deviden yang dibayarkan menjadi rendah.

Perusahaan biasanya menggunakan sumber dana eksternal untuk mendanai tambahan investasi dan akan membagikan deviden yang lebih besar. Semakin besar deviden yang dibagikan menyebabkan tingkat leverage perusahaan pun akan tinggi.

Dengan demikian perusahaan dalam membuat keputusan pembagian deviden harus mempertimbangkan kelangsungan hidup dan pertumbuhan perusahaan. Laba sebaiknya tidak dibagikan sebagai deviden seluruhnya dan sebagian harus disisihkan untuk diinvestasikan kembali (Riyanto dan Dermawan, 1997).

Bila perusahaan sedang mengalami kesulitan keuangan, jumlah investasi minimal perusahaan kemungkinan besar dikonversi kedalam deviden yang rendah.

Karena para manajer lebih suka mengurangi deviden dibandingkan dengan pemutusan pembagian deviden, perusahaan dengan tingkat kesulitan keuangan yang tinggi akan membagi deviden yang lebih rendah untuk menjaga kebijakan deviden yang stabil.

Deviden merupakan bagian dari profitabilitas atau keuntungan peusahaan. Perusahaan dengan tingkat profitabilitas yang rendah akan memilih menggunakan sumber dana eksternal. Oleh karena itu akan ada hubungan yang negatif antara leverage dan profitabilitas (Fama dan French, 2002 dalam Guanqu Tong dan Christopher J. Green, 2005). Myers dan Baskin (dalam Guanqu Tong dan Christopher J. Green, 2005) juga mengungkapan adanya hubungan negatif antara leverage dan profitabilitas.
Profitabilitas merupakan sumber dana yang utama bagi perusahaan. Makin besarnya bagian kebutuhan dana yang dipenuhi dengan dana yang berasal dari keuntungan berarti makin kuatnya posisi financial dari perusahaan yang bersangkutan dan makin kecil ketergantungannya kepada sumber dana eksternal.

Perusahaan yang memiliki kemampuan tinggi dalam mengelola asetnya dalam menghasilkan profit yang berasal dari investment opportunity (kesempatan investasi) yang besar dapat memperbesar jumlah sumber dana internal yang tersedia untuk reinvestment (investasi ulang) dan pembagian deviden bagi pemegang saham sehingga akan cenderung menurunkan ketergantungan perusahaan terhadap kebutuhan dana eksternal dalam hal ini hutang. Sebaliknya, bagi perusahaan dengan Profitabilitas rendah akan cenderung besar ketergantungannya terhadap sumber dana eksternal. Jadi apabila perusahaan memiliki net cash flow (cash earning dikurangi pengeluaran investasi) perusahaan positif maka perusahaan memiliki sumber dana internal yang cukup untuk mendanai kegiatan investasinya. Laba bersih yang dihasilkan oleh perusahaan akan digunakan untuk dua hal, yaitu dibagikan bagi para pemegang saham dalam bentuk deviden dan laba ditahan yang digunakan untuk reinvestment. Dalam penelitian ini menggunakan model regresi profotabilitas (t) dan profitabilitas (t-1). Penggunaan profitabilitas (t-1) dalam model regresi yaitu untuk mencegah terjadi kesalahan penggunaan pada profitabilitas (t) dengan kesalahan pada profitabilitas (t-1). Penggunaan profitabilitas (t-1) dalam penelitian ini hanya untuk mengatasi atau mencegah terjadinya tenggang waktu (Lag) atau tidak bisa berpengaruh seketika antara variabel dependen dengan independen.

Teori pecking order perusahaan lebih menyukai pendanaan dari dalam perusahaan (laba ditahan dan depresiasi) dibandingkan dengan pendanaan yang berasal dari luar perusahaan (hutang atau ekuitas). Jika perusahaan harus mendapatkan pendanaan dari luar perusahaan, maka perusahaan akan memilih sekuritas yang paling aman terlebih dahulu.

Teori Pecking order (Myers 1984, dalam Guanqu Tong dan Christopher J. Green, 2005), menjelaskan bahwa kebijakan deviden adalah kaku. Pernyataan ini menjelaskan bahwa para manajer akan berusaha menjaga kestabilan nilai deviden per lembar saham pada tingkat biaya berapapun, dan tidak akan meningkatkan atau menurunkan deviden per lembar saham walaupun terdapat perubahan nilai profit pada perusahaan. Deviden yang bersifat sticky (kaku) ini dimana perusahaan tidak berniat menaikkan deviden kecuali perusahaan percaya bahwa pembayaran deviden yang lebih tinggi tersebut mampu dijaga, sehingga porsi laba bersih yang dibagikan untuk deviden cenderung rendah dan porsi laba bersih untuk laba ditahan yang digunakan untuk reinvestment akan tinggi dan tentu saja hal ini akan memperkecil ketergantungan terhadap dana eksternal yang dibutuhkan dalam hal ini hutang. Dengan kata lain kebijakan deviden yang rendah akan menurunkan leverage perusahaan.

Teori pecking order tidak membahas lebih dalam mengenai deviden tetapi Baskin (1989, dalam Guanqu Tong dan Christopher J. Green, 2005) berpendapat bahwa teori itu bisa dikombinasikan dengan model deviden Lintner (Lintner 1956, dalam Guanqu Tong dan Christopher J. Green, 2005) yang memperkirakan secara umum pengaruh deviden pada leverage. Teori pecking order menggambarkan bahwa perusahaan dengan deviden tinggi yang telah ada akan mempunyai masalah keuangan yang lebih rendah dan laverage yang lebih tinggi karena mereka menggunakan biaya eksternal yang lebih banyak.

Menurut teori pecking order pendanaan internal merupakan pilihan pertama. Penggunaan dana internal bertujuan untuk menghindari permasalahan yang berkaitan dengan pendanaan eksternal seperti turunnya harga saham dengan adanya emisi saham baru serta berbagai pembatasan dalam kontrak hutang. Namun perlu diketahui bahwa pendaan internal sangat terbatas. Teori pecking order mengusulkan bahwa pada saat dana internal tidak cukup, perusahaan lebih mengutamakan hutang sebelum ekuitas. Ide dasar teori pecking order sangat sederhana, yaitu perusahaan membutuhkan dana eksternal karena dana internal tidak cukup. Adanya asimetri informasi membatasi pendanaan eksternal melalui saham baru, dengan demikian utang menjadi pendanaan yang dipilih (Myers dan Majluf, 1984. Dalam Siregar, 2003).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Siregar (2003) mengungkapkan temuan empiris yang menunjukkan bahwa koefisien pendanaan laba ditahan (dana internal) lebih besar daripada koefisien pendanaan hutang atau saham baru (dana eksternal); koefisien pendanaan hutang lebih besar dari koefisien emisi saham. Temuan ini konsisten dengan teori pecking order yang dikembangkan oleh Myers dan Majluf (1984, dalam Guanqu Tong dan Christopher J. Green, 2005).

Allen dkk dan Chiarella dkk (dalam Guanqu Tong dan Christopher J. Green, 2005) mengungkapkan keberadaan hubungan negative yang signifikan antara rasio hutang dan pengukuran profitabilitas. Penelitian ini cenderung menghasilkan pengujian langsung model pecking order yang dibangun oleh Baskin (1985-1989). De Angelo dan Masulilis (1980) menujukkan bahwa ada petunjuk yang berlawanan yang menggambarkan perusahaan-perusahaan yang lebih profitable memiliki buku hutang yang lebih rendah terhadap perbandingan asset dari pada rendahnya keuntungan yang sudah di alokasikan. Kester (1986) melaporkan hubungan negatif yang signifikan antara perbandingan profitabilitas dan nilai hutang.

Penelitian ini akan mengiplementasikan model teori pecking order pada kebijakan pendanaan perusahaan-perusahaan yang tergabung pada industri otomotif yang terdaftar di BEI pada tahun 2006-2008. Leverage perusahaan konsumsi menurut teori pecking order dipengaruhi oleh profitabilitas dan deviden (Baskin, 1989).

Berdasarkan uraian diatas penulis tertarik untuk melakukan pengujian yang berjudul ”Pengaruh Deviden dan Profitabilitas Terhadap Leverage Pada Industri Otomotif yang Terdaftar di BEI Tahun 2006-2008 (Pengujian Hipotesis Pecking Order)